Saya mendapatkan istilah ini
setelah membaca sebuah topik obrolan di sebuah forum. Hal ini cukup menarik
untuk saya. Sebenarnya bahasan utama dari obrolan itu adalah bagaimana Jakarta
telah berubah, dan terasa semakin “kejam”.
Ada beberapa contoh kasus disana,
dimana terjadi pembenaran atas segala pelanggaran hukum. Contoh yang sangat
sering terasa adalah hak pejalan kaki terhadap trotoar. Kondisi macet akan
membuat pengendara roda dua seringkali frustasi dan tidak segan dalam merebut
hak pejalan kaki. Dalam topic obrolan di forum tersebut, disebutkan seorang
pengendara sepeda motor yang naik ke atas trotoar menyalakan klakson minta
jalan kepada pejalan kaki. Pejalan kaki yang merasa itu memang haknya tidak
memberikan jalan, dan apa yang terjadi. Pengendara sepeda motor tersebut
memukulkan helmnya ke punggung si pejalan kaki. Kemudian terjadilah cekcok,
dimana polisi akhirnya datang. Pada awalnya polisi menyalahkan pengendara
sepeda motor, dan lucunya diakhir perdebatan itu sang polisi malah menyalahkan
si pejalan kaki. “Kenapa kamu tidak mengalah saja, tidak akan sepanjang ini
urusannya.”. Lucu? Sangat lucu? Terjadi pembenaran terhadap kesalahan.
Kejadian jalanan di Jakarta
bermacam rupanya, dan seringkali berujung perkelahian. Rupanya jalanan Jakarta
memang sangat membuat frustasi orang-orang. Hal ini tidak lepas dari kondisi
jalanan Jakarta yang semakin padat, semakin ramai dan orang yang melaluinya
dalam kondisi lelah dan frustasi. Tidak sedikit orang nekat menggunakan
kendaraan pribadi, padahal dia tau kondisi jalanan yang akan dilalui. Sebagai
contoh, teman saya yang bekerja di salah satu bank di kawasan Kota, padahal
rumahnya ada di Pamulang. Saya bertanya kepada dia, kenapa tidak naik KRL saja.
Naik dari Sudimara sampai ke Kota. Dan jawabnya adalah “Enakan naik motor”.
Padahal dia tau waktu habis 2 jam untuk sekali perjalanan ke kantor, dan
kondisi macet serta akan membuat frustasi para pengendara.
Mayoritas pengendara kendaraan
umum, berasal dari kawasan suburban seperti Bekasi, Bogor, Depok, Ciputat,
Pamulang, Tangerang. Efek leher botol akan terjadi di beberapa kawasan pintu
keluar Jakarta, seperti misalnya untuk tujuan Ciputat akan padat di kawasan
Fatmawati, tujuan Depok – Bogor di Lenteng Agung – Margonda.
Kondisi lelah dan frustasi ini
akan mudah dipercikkan oleh api emosi jalanan. Sedikit senggolan saja akan
berakibat fatal. Baku hantam, yang akan memicu kemacetan lebih panjang. Ini
baru kondisi fisik, bisa jadi ditambah kondisi ketika berangkat kerja.
Berangkat dalam keadaan emosi setelah pertengkaran keluarga, belum makan pagi,
pusing karena gajian masih lama, atau pula kondisi sebaliknya ketika pulang
kerja, bawa kerjaan setumpuk, atasan yang membuat frustasi.
Hey, keadaan ini tidak hanya ada
pada pengguna kendaraan pribadi. Sumpah serapah juga akan terjadi di angkutan
umum. Misalnya saja anda naik bis, rebutan masuk ke dalam bis demi sebuah kursi
bisa jadi akan terjadi pertengkaran. Atau anda memilih naik KRL, yang
seringkali terlambat dari jadwal ataupun kondisi pendingin udara yang tidak
bekerja sempurna. Ya, saya sendiri adalah pengguna KRL setiap hari. Memang saya
sadari kondisi ini cukup membuat frustasi, panas, terlambat. Saya masih bisa
bersyukur tidak kena macet di jalanan ibukota. Perjalanan KRL saya hanya 50 menit,
dan dari stasiun hanya 5 menit ke kantor menggunakan ojek. Nyaris bebas
frustasi. Terlebih kantor saya tidak ketat dalam aturan jam masuk. Hanya
masalah etika dan hanya di pelototin oleh Project
Secretary – saya bekerja di kantor project-.
Saya tidak munafik, saya juga
beberapa kali –kalau tidak mau dibilang sering- frustasi dijalanan. Tapi
setelah saya membaca tulisan dari forum tersebut, ada baiknya kita menyimpan
kecamuk emosi yang ada di pikiran. Hindari benturan, dan jikalau ada tidak usah
memperpanjang urusan –kecuali memang ada kerusakan yang berefek lumayan-.
Istighfar saja jika terjadi sesuatu yang memancing emosi.
Allah bersama orang-orang yang sabar.
Comments
Post a Comment